PENDIDIKKAN - Dalam kehidupan sehari-hari, berapa kali kita mengatakan “tidak apa-apa” ketika hati sedang hancur? Atau menyatakan, “saya baik-baik saja” saat sebenarnya tubuh dan pikiran kita menjerit lelah? Mengabaikan kenyataan demi mempertahankan citra atau menghindari konflik memang sering kali terasa lebih mudah, tetapi apakah kita benar-benar sanggup terus membohongi diri sendiri?
Berbohong pada diri sendiri adalah kebiasaan berbahaya yang sering kita anggap sepele. Perlahan, kebiasaan ini akan menciptakan jurang besar antara kata-kata yang kita ucapkan dan tindakan yang kita lakukan. Ketidaksesuaian ini bukan hanya melukai kejujuran pribadi, tetapi juga menciptakan konflik internal yang menghancurkan kepercayaan pada diri sendiri.
Ketika kata dan perbuatan mulai saling mengkhianati, dampaknya bisa sangat mengerikan. Kita kehilangan integritas, tidak hanya di mata orang lain, tetapi juga dalam hubungan kita dengan diri sendiri. Misalnya, berkata bahwa “semuanya terkendali” padahal tugas-tugas terus menumpuk dan tekanan semakin memuncak. Lambat laun, tubuh menyerah pada kelelahan kronis, dan pikiran mulai dikuasai kecemasan yang tak terkendali. Dalam kondisi ini, siapa yang akan menjadi korban utama? Kita sendiri.
Mengapa Kita Terjebak dalam Kebiasaan Ini?
Ada banyak alasan mengapa seseorang membohongi dirinya sendiri. Salah satunya adalah rasa takut—takut terlihat lemah, takut mengecewakan orang lain, atau takut menghadapi kenyataan yang pahit. Kita terjebak dalam keinginan untuk selalu tampak kuat dan mampu, padahal tidak ada manusia yang sempurna.
Namun, terus-menerus membohongi diri hanya akan memperburuk keadaan. Alih-alih menghadapi masalah, kita justru menumpuk beban tambahan berupa ketidakseimbangan antara pikiran, perasaan, dan tindakan. Akibatnya, hidup terasa semakin melelahkan dan kehilangan arah.
Baca juga:
Surya Paloh: Anies, Kau Jangan Menyerah
|
Berhenti, Sadari, dan Perbaiki
Berhentilah membohongi diri sendiri. Tidak ada yang salah dengan mengakui bahwa kita sedang lelah, sedih, atau kewalahan. Kejujuran pada diri sendiri adalah langkah awal untuk memahami batasan kita dan mulai membangun keseimbangan hidup.
Sadari bahwa menerima kenyataan, betapapun pahitnya, adalah bentuk keberanian sejati. Dengan mengakui kelelahan atau kerapuhan, kita justru membuka pintu untuk mencari solusi dan mendapatkan bantuan yang diperlukan. Kita juga mengajarkan orang-orang di sekitar kita bahwa kejujuran adalah fondasi hubungan yang sehat.
Akhirnya, perbaiki hubungan antara kata dan tindakan. Jadikan kejujuran sebagai prinsip hidup, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dengan begitu, kita tidak hanya membangun kepercayaan diri yang lebih kuat, tetapi juga menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan autentik.
Jadi, jika merasa capek, tidak apa-apa untuk berhenti sejenak. Jangan terus membohongi diri dengan berpura-pura kuat. Karena pada akhirnya, kata dan perbuatan yang saling mengkhianati hanya akan melahirkan kehancuran.
Kembalilah pada kejujuran, dan temukan kedamaian di dalamnya.
Mesuji, 22 Desember 2024
Baca juga:
Tony Rosyid: Kudeta Airlangga, Berhasilkah?
|
Udin Komarudin
Ketua Jurnalis Nasional Indonesia [JNI]